Rabu, 10 September 2008

Subject: [forum AMi] UIA Diary: 6 Wasiat Eisenman

Rekan2 yg budiman,
ada sedikit catatan kecil oleh2 dari UIA congress di Torino kemarin.
mudah2an bermanfaat. Sempat dipublikasikan juga di majalah Indonesia Design edisi
terbaru.

salam,

emil
------------ --------- --------- ---------

UIA Diary: 6 WASIAT EISENMAN

oleh M. Ridwan Kamil

Di Torino yang dingin berangin, menyeruput secangkir cappucino menjadi hal kecil yang
luar biasa. Kelegitan kopi terbaik yang pernah saya minum hadir setiap pagi. Di kota
tempat kongres UIA bulan Juli lalu ini tidak ditemukan satupun café Starbucks. Mungkin
mereka minder dengan kualitas cappucino khas orang Italia. Apalagi jika yang menyeduh
adalah Nicoletta, gadis ramping nan cantik mirip Angelina Jolie yang melayani delegasi
Indonesia di restoran Vittorio. Perfecto.

Dari sekian banyak acara dan ceramah dari para arsitek dunia di kongres UIA ini, ada satu
kuliah dari Peter Eisenman yang terus mengiang-ngiang di telinga saya. Dengan usianya
yang sudah tua dan gayanya yang kebapakan, Eisenman mengemukakan sedikitnya 6
pesan tentang tentang arsitektur kontemporer.

Pertama. Eisenman mengingatkan bahwa kita sedang berada dalam krisis diskursus
arsitektur. "Kita berada di dekade yang tidak menawarkan nilai baru," ujarnya. Yang ada
hanya "lateness" atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara
periodik tahunan, bulanan atau bahkan mingguan. Menurutnya tidak ada kegairahan
perdebatan arsitektur dunia seperti halnya ketika arsitektur Modern bergeser ke
Postmodern. Ataupun kegairahan ketika kerumitan dan kegeniusan diskursus
dekonstruksi Derrida dipinjam oleh para arsitek dunia untuk menjadi wacana hangat di
jamannya.

Kedua. Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan
geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu
menghadirkan makna mendalam. "Just a piece of meaningless form," kritiknya. Selain itu,
banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat
ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur.
Segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi
`livability' atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia. Dan
Dubai tidak memilikinya.

Ketiga. Eisenman merenungi bahwa karya arsitektur seharusnya bisa dirasakan sampai ke
lerung hati terdalam. Arsitektur tidak hanya cukup menjadi sebuah entitas dan objek
visual semata. Arsitektur terbaik adalah arsitektur yang mampu menyentuh psikologis
manusia secara emosional. "let the heart be your judge," ungkapnya. Arsitektur harus
mampu mengalirkan makna-makna di ruang-ruang tiga dimensional itu. Renungannya
ini sejalan dengan konsep `tactility' yang didengungkan sosiolog Kenichi Sasaki yang
memuji arsitektur yang menstimulasi seluruh indra manusia. Arsitektur yang tidak
memanjakan indra visual semata.

Keempat. Eisenman mengingatkan kita, terutama para mahasiswa arsitektur, untuk tidak
mendewakan komputer. Eisenman mengkhawatirkan generasi sekarang yang
menggantungkan 100 persen proses desain dengan komputer. "Mereka menjual
keindahan melalui manipulasi photoshop," debatnya. Dengan imaji-imaji yang secara
visual spektakuler seolah urusan sudah selesai. Baginya proses desain harus dimulai dari
kerja keras kontemplasi berpikir. Konsep desain harus mampu dirasakan dengan hati.
Kemudian mengalir deras ke syaraf-syaraf di sepanjang jari-jari tangan. Karenanya
sensitivitas indrawi masih ia anggap yang terbaik dalam melatih pencarian konsep
berarsitektur,

Kelima. Eisenman berpesan bagi para arsitek di negara-negar berkembang untuk tetap
optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya negara
berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme
budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber konsep, legenda
yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita.
Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti halnya
Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.

Keenam. Eisenman menceritakan bahwa tiada yang lebih bermakna dalam profesi arsitek
selain dari sebuah ketulusan pertemanan dan kesetiakawanan sesama arsitek. Ia
kemudian bercerita tentang struktur vertikal di proyek Galia Cultural di Spanyol yang ia
bangun sebagai perwujudan wasiat terakhir dari mendiang sahabatnya John Hedjuk.
Mendiang koleganya yang sering menjadi teman minum kopi, sahabat berdiskusi dan
kritikusnya selama mereka berpraktek di New York. Persahabatan adalah keindahan.

Itulah enam pesan dari arsitek yang mendedikasikan dirinya untuk terus mengajar dan
menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada ratusan muridnya dan ribuan
pengagumnya. Dunia arsitektur yang saat ini miskin provokasi memang membutuhkan
kehangatan pemikiran Eisenman. Sehangat dan semenyentak cappucino yang diseduh
Nicoletta, teman kita dari Torino. Kita memang butuh kehangatan yang menyentakkan
syaraf sekaligus menyegarkan pikiran. Setiap pagi.

Torino, Juli 2008.

1 komentar:

tiyokkpras mengatakan...

Mengharukan sekali...
Memang begitulah seharusnya arsitek, gak cuma jadi tukang gambar atau ngedesain yang ribet-ribet tapi meaningless...
Jadi nyesal banyak melewatkan kuliah Pak Yo**k dan Pak I**m... Huehuehue...